Beranda | Artikel
Standarisasi Kebenaran Dalam Islam
Rabu, 18 Agustus 2021

STANDARISASI KEBENARAN DALAM ISLAM

Oleh
Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra MA

Sudah suatu kelaziman dalam berbagai bidang keahlian maupun produk tertentu harus memenuhi standarnya; sehingga keabsahan, kualitas dan validasinya terjamin dan dapat dipertanggungjawabkan. Kalau tidak demikian halnya, tentu semua orang bisa berkata atau berbohong dan melanggar berbagai aturan main dan kaidah yang sudah baku yang ditetapkan dan disepakati para ahli pada setiap bidang keilmuan.

Demikian pula halnya pemahaman terhadap agama, harus sesuai dengan standarisasi yang berlaku dalam Islam; agar kita tidak terbalik dalam berjalan, kita ingin maju tapi malah mundur jadinya, maju dalam pemikiran tapi mundur dalam keimanan. Karena pada akhir-akhir ini terjadi semacam kerancuan dalam standarisasi keabsahan pemahaman agama. Sehingga timbul berbagai asumsi dan opini-opini yang menyesatkan dalam keyakinan beragama.

Maka selayaknyalah seorang Muslim mampu memilih dan memilah mana yang harus di terima dan mana yang harus ditolak. Agar tidak terbalik dalam menilai sebuah permasalahan, yang benar dianggap salah, dan yang salah dianggap benar. Tentu untuk sampai pada titik penentuan pilihan tersebut harus mengenali standarisasinya. Dewasa ini banyak orang menjadikan gelar, kedudukan, kekayaan, ketenaran, kesepuhan, peninggalan kuno dan galian fosil sebagai standarisasi. Padahal itu bukan standarisasi untuk menentukan kebenaran dalam Islam.

Islam memiliki standar yang valid dan akurat dalam menilai sebuah pandangan dan pendapat. Sehingga pandangan dan pendapat itu berlaku kebenarannya di mana dan kapan saja; tanpa dibatasi oleh masa dan tempat tertentu. Karenanya, berbagai pandangan dan pendapat para Ulama dapat diadobsi dan diterima di zaman sekarang; walaupun masa mereka sudah amat jauh berlalu. Yang dimaksud di sini adalah pendapat-pendapat yang benar-benar sesuai dengan standarisasi yang terdapat dalam Islam.

Berikut ini dipaparkan sebagian dari standarisasi kebenaran dalam Islam, sesuai dengan apa yang diamalkan dan dipraktekkan oleh generasi terbaik umat ini; yang selanjutnya diikuti oleh para Ulama terkemuka pada setiap generasi mereka.

1, Berpegang kepada al-Qur’â Meyakininya sebagai wahyu yang mutlak kebenarannya. Maka segala pendapat dan pandangan yang bertentangan dan berseberangan dengan kebenaran al-Qur’ân  dinyatakan sesat dan batil secara mutlak.

قاَلَ الشَّافِعِيُّ : «كُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلَى اْلكِتاَبِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ الْحَدُّ الَّذِيْ يَجِبُ، وَكُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلىَ غَيْرِ أَصْلِ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ فَهُوَ هَذَيَانٌ» أخرجه البيهقي في مناقب الإمام الشافعي

Imam Syafi’i berkata: “Setiap orang yang berbicara berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah, maka (ucapan) itu adalah ketentuan yang wajib diikuti. Dan setiap orang yang berbicara tidak berlandaskan kepada al-Qur’ân dan Sunnah, maka (ucapannya) itu adalah kebingungan[1].

قَالَ الْمُزَنِيْ وَالرَّبِيْعُ كُنَّا يَوْماً عِنْدَ الشَّافِعِيِّ إِذْ جَاءَ شَيْخٌ فَقَالَ لَهُ أَسْأَلُ قاَلَ الشَّافِعِيُّ سَلْ قاَلَ إِيْشٌ الْحُجَّةُ فِيْ دِيْنِ اللهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ كِتَابُ اللهِ، قاَلَ وَمَاذَا قاَلَ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ

Al Muzany dan ar-Rabî’ berkata: “Pada suatu hari saat kami berada di samping Imam Syâfi’i, tiba-tiba datang seorang orang tua lalu ia berkata kepada Imam Syâfi’i: “Aku ingin bertanya.” Jawab Imam Syâfi’i: “Silakan.” Lalu ia berkata: “Apakah hujjah dalam agama Allah Azza wa Jalla ?” Maka Imam Syâfi’i menjawab: “Kitab Allah Azza wa Jalla (al-Qur’ân).” Ia bertanya lagi: “Kemudian apa?” Jawab Syâfi’i: “Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” “[2]

Di sini terlihat bahwa Imam Syâfi’i sangat mengagungkan al-Qur’ân dalam berdalil. Menurut Imam Syâfi’i mestinya setiap orang menjadikan al-Qur’ân sebagai pedoman saat menentukan sebuah hukum atau berpendapat. Jika hal ini ia dilakukan, maka pendapatnya berhak untuk diterima. Sebaliknya bila tidak pendapatnya adalah sebuah kebingungan. Orang tersebut adalah sibingung yang membuat kebingungan di tengah masyarakat.

Betapa banyaknya orang zaman sekarang yang membuat kebingungan di tengah masyarakat dengan pendapat-pendapatnya. Baik dalam hal keyakinan beragama maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap orang seolah-olah bebas melontarkan segala pendapat yang terlintas di benaknya, tanpa pertimbangan terlebih dahulu.

Bahkan menurut Imam Syâfi’i pendapat dan pemahaman yang tidak berdasarkan kapada dalil al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bisikan-bisikan setan. Betapa banyak di zaman sekarang orang yang mengikuti bisikan-bisikan setan. Semoga Allah Azza wa Jalla melindungi kaum Muslimin dari fitnah mereka.

قَالَ الْمُزَنِيْ يَقُوْلُ سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُوْلُ مَنْ تَعَلَّم َاْلقُرآنَ عَظُمَتْ قِيْمَتُهُ

Berkata al-Muzany: aku mendengar Syâfi’i berkata: “Barangsiapa yang mempelajari al-Qur’ân telah tinggi kedudukannya[3].

Demikianlah, Imam Syâfi’i rahimahullah sangat menghargai orang-orang yang mempelajari al-Qur’ân, sebagai motivasi bagi mereka agar bersungguh-sungguh untuk mempelajari al-Qur’ân. Sekaligus menegaskan kepada kita untuk menghormati orang yang mempelajari dan mengamalkan hukum-hukum al-Qur’ân. Oleh sebab itu Allah Azza wa Jalla mengangkat derajat orang yang mempelajari al-Qur’ân dan merendahkan derajat orang yang tidak mau mempelajari dan mengamalkan al-Qur’ân. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا اْلكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ

Sesungguhnya Allah meninggikan dengan kitab ini (al-Qur’ân) kedudukan beberapa kaum dan merendahkan dengannya kedudukan yang lain. [HR. Muslim]

Allah Azza wa Jalla mengangkat derajat orang mau menerima ajaran al-Qur`ân dan berjuangan untuk menegakkannya di tengah-tengah umat manusia. Sebaliknya Allah Azza wa Jalla hinakan dan rendahkan derajat orang yang menetang ajaran al-Qur’ân atau merendahkan orang-orang mengamalkannya dan berjuang untuk menegakkannya di tengah-tengah umat manusia.

Sebagian orang di masa sekarang ada yang meremehkan orang-orang yang mempelajari dan mengamalkan al-Qur’ân dalam berakidah, beribadah, bermu’alah dan berakhlak. Apalagi yang mengajak untuk menjalankan al-Qur’ân dalam segala aspek kehidupan. Mereka dianggap sebagai kaum terbelakang dan anti moderenisme. Mereka diejek dengan berbagai tuduhan-tuduhan dusta. Sebaliknya, orang-orang yang merusak ajaran al-Qur’ân justru disanjung dan dipuji. Bahkan sebahagian mereka berani mengatakan bahwa sebab keterbelakangan adalah akibat menjalankan al-Qur’ân. Mereka menganggap teori-teori mereka jauh lebih jitu dan lebih hebat daripada al-Qur’ân. Demi Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya ini adalah suatu kekufuran dan kebohongan yang nyata terhadap al-Qur’ân.

Hal ini tidak beda dengan sikap kaum kafir, mereka sudah merasa cukup dengan ilmu pengetahuan yang ada pada mereka. Mereka tidak merasa perlu lagi dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh rasul-rasul. Justru, mereka memandang enteng dan memperolok-olok keterangan yang dibawa rasul-rasul itu. Allah Azza wa Jalla berfirman :

فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ

Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang senantiasa mereka perolok-olokkan. [al-Mukmin/40:83]

Banyak sekali ayat maupun hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang wajibnya berpegang kepada al-Qur’ân.

Di antaranya, firman Allah Azza wa Jalla :

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). [al-A`râf/7:3]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابَ اللَّهِ  

Dan sesungguhnya aku telah meninggalkan pada kalian sesuatu, kalian tidak akan sesat selamanya jika kalian berpegang dengannya, yaitu kitab Allah. [HR. Muslim]

2. Berpegang pada sunnah.
Sunnah adalah sejoli al-Qur’ân; kedua-duanya adalah wahyu yang wajib kita ikuti, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur`ân) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [an-Najm/53:3-5]  

وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ

Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. [al-Haqqah/69:54-56]

Dua ayat di atas menjelaskan kepada kita tentang kevalidan sunnah sebagai hujjah dalam agama Islam. Oleh sebab itu Allah Azza wa Jalla mewajibkan kita berpegang teguh kepada sunnah.

Dalam pengamalan, seorang Muslim tidak boleh membedakan-bedakan antara al-Qur’ân dan sunnah. Orang yang membeda-bedakan antara al-Qur’ân dan Sunnah dalam hal pengamalannya, sesungguhnya ia telah membeda-bedakan pula antara taat kepada Allah Azza wa Jalla dan taat kepada Rasul-Nya. Ini adalah sikap yang dianggap menyelisihi al-Qur’ân itu sendiri, berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla yang artinya:

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

”Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan”. [an-Nisâ/4/150-151]

Sebagai konsekuensi ketaatan kita kepada Nabi n , kita wajib menerima semua yang beliau perintahkan dan beliau sampaikan, termasuk hadits-hadits yang berkategori ahad. Karena Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

Apa yang dibawa Rasul kepada kalian, maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. [al-Hasyr/59:7]

Orang yang menolak sunnah, niscaya mereka akan ditimpa oleh fitnah kesesatan waktu di dunia dan diancam azab yang pedih di akhirat. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. [an-Nûr/24:63]

Tidak membedakan dalam masalah ibadah dan masalah akidah.

Dalam mengamalkan dan menerima sunnah kita tidak boleh membedakan-bedakan antara hadits ahad dalam masalah akidah dan masalah ibadah, sebagaimana pandangan orang-orang ahli kalam.

Firman Allah Azza wa Jalla :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.[an-Nisâ`/4:65]

Dalam segala hal yang kita berbeda pandangan baik secara akidah maupun ibadah dan seterusnya; maka kita wajib mengembalikannya kepada al-Qur’ân dan sunnah berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (al Qur`ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ`/4:59]

3. Dalam memahami al-Qur’ân dan Sunnah merujuk kepada pemahaman para Sahabat.
Dalil yang mewajibkan kita untuk merujuk dalam memahami kitab dan sunnah sesuai dengan pemahaman salafus shaleh, berikut di antaranya :

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَالسَّابِقُونَ اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. [at-Taubah/9:100]

Imam Ibnu Katsîr berkata ketika menafsirkan ayat di atas: “Maka sesungguhnya Allah yang Maha agung telah memberitahu, bahwa Allah Azza wa Jalla telah ridha terhadap generasi terkemuka yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Maka celakalah orang yang membenci dan mencela mereka. Atau membenci dan mencela sebagian mereka. terutama penghulu para Sahabat yang terbaik dan paling mulia setelah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang aku maksud as-Shiddîq yang mulia, khalifah yang agung, Abu Bakar bin Quhafah Radhiyallahu anhu. Sesungguhnya kelompok yang hina dari orang-orang Rafidhah memusuhi para Sahabat yang mulia, mereka membenci dan mencaci para Sahabat. Kita berlindung dengan dari hal yang demikian. Ini menunjukkan bahwa akal mereka terbalik, dan hati mereka tertelungkup. Di mana keimanan mereka kepada al-Qur’ân, ketika mereka mencaci maki orang-orang yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla ?! Adapun Ahlussunnah ;  mereka meridhai orang yang diridhai Allah Azza wa Jalla dan mencela orang yang dicela oleh Allah Azza wa Jalla . Mereka berolayalitas kepada orang yang cintai Allah Azza wa Jalla dan memusuhi orang yang memusuhi Allah Azza wa Jalla . Mereka mengikuti tidak melakukan bid’ah. Karena itu mereka adalah golongan Allah Azza wa Jalla yang menang, hamba-hamba-Nya yang beriman”[4].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: .

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik manusia dalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka [Muttafaq`alaihi]

Peringkat kebaikan tertinggi yang diberikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi para Sahabat, Tâbi’în dan Tâbi’ ut Tâbi’în dalam hadits ini adalah dalam segi pemahaman dan pengamalan ilmu serta dalam hal menyampaikannya kepada umat. Secara tidak langsung terkandung di dalamnya perintah bagi umat untuk menjadikan mereka sebagai panutan dan acuan dalam memahami dan mengamalkan al-Qur’ân dan Sunnah; serta untuk menyampaikannya kepada umat manusia.

Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain disebutkan yang artinya:

عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بِنْ سَارِيَةَ رضي الله عنه قَالَ: وَعَظَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُبُ, وَذَرَفَتْ مِنْهِا الْعُيُونُ, فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ, كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ, فَأَوْصِنَا, قَالَ:” أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ, وَالسَّمْعِ وَالطَّاعةِ, وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ, فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّينَ, عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ, وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ, فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةً ضَلاَلَةٌ.

Dari ‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu anhu Pada suatau hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimani kami shalat subuh. Kemudian beliau menghadap kami (setelah salam) dan memberi nasehat yang sangat dalam; membuat air mata bercucuran, membuat hati bergetar ketakutan. Salah seorang berkata: “Ini bagaikan nasehat perpisahan wahai Rasulullah! Apa wasiat engkau kepada kami?”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku wasiatkan, dengar dan patuhlah kepada penguasa sekalipun ia seorang budak Habasyi yang cacat. Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup lama setelahku, pasti akan melihat perpecahan yang banyak. Maka berpeganglah kalian dengan sunnahku dan sunnah khulafâ‘ ar-râsyidîn al-mahdiyîn. Peganglah erat-erat dan gigitlah dengan geraham. Dah hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru dalam hal beragama. Karena perkara yang baru dalam hal beragama adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat”.

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya menegaskan agar kita berpegang dengan sunnah beliau; tetapi juga menekankan agar kita berpegang kepada sunnah para Sahabat. Karena sudah semestinya seorang yang mengaku sebagai Muslim berpegang kepada al-Qur’ân dan Sunnah. Namun amat jarang orang memperhatikan sunnah para Sahabat dalam memahami dan mengamalkan al-Qur’ân dan Sunnah tersebut. Terlebih lagi ketika terdapat perbedaan pendapat dalam permasalahan agama. Sering mereka kemukakan pemahamannya sendiri atau pendapat tuan guru, figur dan pimpinan organisasinya.

Demikian pula dalam hadits yang menerangkan tentang perpecahan umat ini ke dalam tujuh puluh tiga golongan:

إِنَّ الْيَهُوْدَ اخْتَلَفُوْا عَلىَ إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَإِنَّ النَّصَارَى اخْتَلَفُوْا عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ اْلأَمَّةِ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً . قَالُوْا: مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: “ماَ أَناَ عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ”

Sesungguhnya orang Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan dan orang terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Seluruhnya masuk neraka kecuali satu. Sahabat bertanya siapa mereka ya Rasulullah ? Jawab beliau: “Apa yang aku berada di atasnya dan para Sahabatku”.[HR at-Tirmidzi dan selainnya, di hasankan oleh Syaikh al-Albâni]

Dalam hadits yang di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan golongan yang selamat dari tujuh puluh tiga golongan tersebut, yaitu orang yang pemahaman, amalan dan dakwahnya sesuai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya mengatakan orang yang berpegang dengan sunnah semata tapi juga memahami dan mengamalkan sunnah tersebut sesuai dengan  pemahaman dan pengamalan para Sahabat.

Umar bin Abdul ‘Azîz rahimahullah berkata:

سَنَّ رَسُوْلُ اللهِ وَوُلاَةُ اْلأُمُوْرِ بَعْدَهُ سُنَنًا اْلأَخْذُ بِهَا تَصْدِيْقٌ لِكِتَابِ اللهِ وَاسْتِكْمَالٍ لِطَاعَةِ اللهِ وَقُوَّةٍ عَلَى دِيْنِ اللهِ لَيْسَ ِلأَحَدٍ تَبْدِيْلُهَا وَلاَ تَغْيِيْرُهَا وَلاَ النَّظَرُ فِيْمَا خَالَفَهَا مَنِ اقْتَدَى بِهَا فَهُوَ مُهْتَدٍ وَمَنِ اسْتَنْصَرَ بِهَا فَهُوَ مَنْصُوْرٌ وَمَنْ خَالَفَهَا وَاتَّبَعَ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَّهُ الله ُمَا تَوَلَّى وَأَصْلاَهُ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا

Rasulullah dan para penguasa setelahnya telah menetapkan sunnah-sunnah. Mengambilnya adalah pembenaran terhadap kitab Allah dan penyempurnaan bagi ketaatan kepada Allah serta memberi kekuatan di atas agama Allah. Tidak ada seorang pun yang berhak untuk merubahnya, dan tidak pula menukarnya, dan tidak pula melihat kepada sesuatu yang menyelisihinya. Barangsiapa yang mengambil petunjuk dengannya maka dia akan mendapat petunjuk. Barangsiapa yang mencari kemenangan dengannya maka dia akan ditolong. Barangsiapa yang menyelisihinya dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang Mukmin, niscaya Allah memalingkannya kemana dia berpaling. Dan akan memasukkannya ke dalam neraka Jahanam yang sejelek-jelek tempat [5]

Betapa indahnya ungkapan Imam Syâfi’i rahimahullah tentang kedudukan Sahabat Radhiyallahu anhum:

هُمْ فَوْقَنَا فِيْ كُلِّ عِلْمٍ وَعَقْلٍ وَدِيْنٍ وَفَضْلٍ وَكُلِّ سَبَبٍ يُنَالُ بِهِ عِلْمٌ أَوْ يُدْرَكُ بِهِ هُدًى وَرَأُيُهُمْ لَنَا خَيْرٌ مِنْ رَأْيِنَا ِلأَنْفُسِنَا

Mereka di atas kita dalam segala bidang ilmu, pemikiran, agama dan keutamaan. Serta dalam segala sebab yang diperoleh dengannya ilmu atau diketahui dengan petunjuk. Pendapat mereka lebih baik untuk kita, daripada pendapat kita sendiri untuk diri kita” [6]

4. Meneliti keshahîhan dalil.
Hal ini hanya berlaku ketika menjadikan hadits sebagai dalil, maka hadits yang dijadikan dalil selemah-lemah derajatnya adalah hasan lighairih. Sebaliknya tidak berpegang kepada hadits-hadits dhaîf, apalagi kepada mimpi dan khayalan dan akal yang rusak.

Di antara sebab timbulnya sebuah kesesatan dan bid’ah adalah karena berpegang kepada hadits-hadits yang lemah atau palsu. Seperti hadits yang menjadi pegangan orang-orang Ahlulkalam (Rasionalisme) :

أَوَّلُ مَا خَلَقَهُ الله ُالْعَقْلُ

Yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal

Sebagian orang ada pula yang berpegang kepada mimpi dalam melestarikan sebuah kesesatan dan bid’ah. Seperti bermimpi bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau orang shaleh lalu mengajarkan sesuatu kepadanya dalam mimpi tersebut. Ini suatu kekeliruan yang amat nyata, sebab mimpi tidak layak untuk dijadikan hujjah dalam agama, apalagi menentang sesuatu yang sudah baku dalam agama. Jika dalam mimpi ia diperintahkan kepada sesuatu yang sesuai dengan tuntunan agama, maka ia mengambilnya bukan sebagai dalil utama tetapi sebagai pendukung saja. Kenapa kita harus termotivasi dengan mimpi! Tetapi tidak termotivasi dengan perintah yang secara tegas disampaikan  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sewaktu beliau hidup.

Apalagi kebanyakan orang yang mengaku bermimpi tersebut tidak jujur, cuma demi untuk membuatnya tenar dan disanjung di depan orang ramai serta di anggap memiliki keistimewaan.  Dan yang lebih sesat lagi bermimpi mendapat ajaran baru atau dibebaskan dari menjalankan perintah-perintah agama.

5. Keshahîhan dalam beristidlâl (menempatkan dalil). Tidak sebatas keshahîhan dalil tetapi perlu lagi keshahîhan dalam beristidlal ketika mengambil sebuah hukum dari dalil tersebut.
Di antara hal yang penting lagi setelah meneliti keshahîhan dalil adalah meneliti keshahîhan dalam beristilal yaitu benar dalam mengambil hukum dari sebuah dalil tersebut. Betapa banyak sekali kelompok sesat yang memutarbalikkan pengertian dalil yang shahîh.

Berikut ini beberapa contoh tindakan gegebah orang-orang sesat dalah mengambil sebuah hukum dari sebuah dalil.

Dalam sebuah buletin orang tarekat menyebutkan tentang kebenaran bertarekat  adalah firman Allah Azza wa Jalla :

وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

Dan bahwasanya : jikalau mereka tetap istiqamah di atas jalan itu (tharîqah), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).[al-Jinn/72:16]

Kata-kata Tharîqah mereka terjemahkan dengan sesukanya saja, yaitu tarikat. Padahal semua orang Muslim tahu bahwa tarikat tersebut tidak pernah ada di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian pula di masa tâbi’în dan tâbi’ tâbi”în. Yang dimaksud dengan tharîqah dalam ayat tersebut adalah jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu agama Islam. Tidak ada seorangpun Ulama yang menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran sesat ahli tarikat tersebut.

Dalam tafsir Jalalain yaitu tafsir kebanggaan orang-orang tarekat di sebutkan:

 لَوِ اسْتَقَامُوْا عَلىَ الطَّرِيْقَةِ  أَيْ طَرِيْقَةُ اْلإِسْلاَمِ

Dan jika mereka tetap istiqâmah di atas at-tharîqah (jalan) maksudnya adalah “Tharîqah (jalan) Islam[7]“.

Dan masih banyak lagi contoh-contoh lain, seperti orang-orang eling (Jawa-ingat) yang berhujjah dengan firman Allah Azza wa Jalla :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku [Thaha/20:14]

Mereka memahami ayat tersebut, bahwa bila sudah ingat Allah Azza wa Jalla berarti sudah shalat. Semua orang Islam mengetahui tentang kesesatan penafsiran mereka tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat tidak pernah memahami ayat tersebut seperti penafsiran sesat mereka. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan bahwa shalat ada tata caranya, ada waktunya, ada bacaa-bacaannya, ada rukunnya, ada syaratnya, ada hal-hal yang membatalkannya.

6. Berpegang kepada ijmâ.
Sebuah pendapat dan pemahaman tidak boleh bertentangan dengan ijmâ para Ulama. Ijmâadalah kesepakatan para Ulama dalam satu masa terhadap sebuah hukum. Sumber ijmâadalah al-Qur’ân dan Sunnah. Terjadinya ijmâkarena begitu banyak dalil dan penjelasan persoalan tersebut dalam agama ini. Tidak ada lagi keraguan tentang hal tersebut. Sehingga semua orang yang berilmu bersepakat dalam hal tersebut. Ini menunjukkan tentang kevalidannya untuk dijadikan hujjah. Karena tidak ada perbedaan dalam menetapkannya. Seperti ijmâtentang bahwa al-Qur’ân terjaga keasliannya dan kemurniannya sampai hari kiamat. Bila ada orang yang melanggar kesepakantan ijmâ maka ia telah bertolak belakang dengan banyak dalil dan banyak Ulama.

Oleh sebab itu Imam Syâfi’i menyebutkan tentang hujjah ijmâdalam al-Qur’ân, yaitu firman Allah Azza wa Jalla [8] :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami palingkan ia kemana ia hendak berpaling dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.[an-Nisâ`/4:115]

Dalam ayat yang mulia ini terdapat beberapa ancaman bagi orang yang melanggar ijmâ:

  1. Waktu di dunia ia akan dibiarkan Allah Azza wa Jalla bergelimang dan terombang-ambing dalam kesesatannya.
  2. Di akhirat kelak ia kan dikembalikan kepada tempat yang sejelek-jeleknya yaitu neraka Jahannam yang menyala-nyala,

Demikian pula dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan:

إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَلَةٍ

Sesungguhnya Umatku tidak akan pernah bersepakat di atas sebuah kesesatan. [HR. Abu Dâwud 4253; at-Tirmidzi 2167 dan Ibnu Mâjah 3590. dishahîhkan al-Albâni dalam dhilâlul jannah]

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa kesepakatan para Ulama dalam menetapkan sebuah hukum amat jauh dari kesesatan. Bahkan telah dijamin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan pernah terjadi ijmâdalam sebuah kesesatan..

قَالَ الشَّافِعِيُّ فِيْ الرِّسَالَةِ  وَمَنْ قَالَ بِمَا تَقُوْلُ بِهِ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ لَزِمَ جَمَاعَتَهُمْ، وَمَنْ خَالَفَ مَا تَقُوْلُ بِهِ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ خَالَفَ جَمَاعَتَهُمُ الَّتِيْ أُمِرَ بِلُزُوْمِهَا، وَإِنَّمَا تَكُوْنُ الْغَفْلَةِ فِيْ الفُرْقَةِ، فَأَمَّا الْجَمَاعَةُ فَلاَ يُمْكِنُ فِيْهَا كَافَّةَ غَفْلَةٍ عَنْ مَعْنَى كِتَاٍب وَلاَ سُنَّةٍ وَلاَ قِياَسٍ، إِنْ شَاءَ الله.ُ انْتَهَى

Berkata Imam Syâfi’i: “Barang yang berkata sesuai dengan apa yang dikatakan  oleh jamaah (ijmâ‘) orang Islam, maka berarti dia tetap konsiten dalam jamaah mereka. Dan barang siapa yang menyelisihi apa yang dikatakan  oleh jamaah (ijmâ‘) orang Islam, maka berarti dia telah keluar dari jamaah mereka yang diperintahkan untuk tetap di dalamnya. Sesungguhnya kesalahan itu terdapat dalam berpecah belah. Adapun jamaah maka tidak akan mungkin seluruhnya tersalah dalam memahami makna al-Qur’ân dan Sunnah begitu pula Qiyâs. Insya Allâh“. [“Ar Risâlah” hal: 475]

7. Bertopang kepada qiyâs yang shahîh, sebaliknya tidak menyadarkan sebuah pemahaman kepada qiyâs al-fâsid. Seperti mengqiyâskan sifat Allah Azza wa Jalla dengan sifat makhluk, menqiyâskan alam barzakh dengan alam dunia, menqiyâskan kejadian-kejadian pada hari akhirat dengan kejadian di dunia ini.

Demikian beberapa contoh standarisasi kebenaran dalam Islam yang dapat disajikan, semoga bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Lihat: “Manâqib Asy Syâfi’i“: 470.
[2]  Lihat: “Ahkâmul Qur’ân“: 39.
[3]  Lihat: “Al-Muntazhim“: 10/137 & “Shafwatush shafwah“: 2/254.
[4]  Lihat “tafsir Ibnu Katsîr”: 4/203.
[5]  Lihat “As-Sunnah“/`Abdullah bin Ahmad”: 1/357.
[6]  Ungkapan ini sangat masyhur dinukilkan dari Imam Syâfi’i. lihat “Majmû’ Fatâwa Ibnu Taimiyah“: 4/158.
[7]  Lihat “Tafsir Jalalain”:  771.
[8]  Lihat “Ahkâmul Qur’ân“: 28.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/37350-standarisasi-kebenaran-dalam-islam-2.html